Jumat, 29 Januari 2016

Cerpen The Last Song

“Candy! Candy! Candy!”
Teriakan para fans gadis yang bernama Candy itu memenuhi gedung konser. Candy pun segera muncul di atas panggung. Dia tersenyum seraya melambaikan tangan pada fans-fans setianya. Tanpa mengulur waktu, segera dia meraih stand-mic dan mulai menyapa semua orang. “Hai! Selamat malam semuanya!” Candy menyapa mereka dengan penuh semangat.
“Candy!” teriakan itu semakin menggila.
Tak bisa dibendung lagi. Mereka benar-benar bahagia dapat melihat konser idola mereka secara langsung. “Well, this is my last song. Enjoy guys!” Gemuruh tepuk tangan memenuhi gedung konser. Semuanya bahagia karena Candy akan bernyanyi lagi. Tak ada yang tahu itu benar-benar konser terakhirnya. Tak ada lagi single terbaru. Tak ada lagi album. Apalagi konser. Ini benar-benar penutup segalanya. Setidaknya bagi gadis itu. Lalu, melantunlah nyanyian yang indah dari bibir mungilnya. Semua orang hanyut dalam kedamaian, terbuai merdunya suara Candy.
Lucky I’m in love in my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we’re in love in everyway
Namaku Ken. Ini adalah kisahku dan dirinya. Semula aku mengira ini hanyalah sebuah kisah cinta sepihak. Cinta yang mustahil untuk ku kejar, apalagi ku dapatkan. Tapi semuanya hanya dugaan-dugaanku belaka. Aku yang terlalu pengecut untuk mengungkapkan. Hari ini aku harus menyelesaikan semuanya.
“Ken!! Bawa gitar nggak?” Gadis yang bernama Candy itu terlihat berlari dengan senyuman indah di wajahnya. Menghampiriku yang hanya bisa terpaku. Ahh! Dia selalu berhasil membuatku mematung. “Helo? Kamu bawa kan Ken?” suaranya kembali menyadarkanku. Aku terpaku terlalu lama. Apakah Candy melihat ekspresiku tadi? Tidak!! Dia terlalu cuek untuk memperhatikan wajahku yang mungkin saja memerah untuk sesaat. “Pasti. Kamu mau nyanyi lagu apa Can?” Aku mencoba bersikap senormal mungkin. Tak ingin tingkah laku gadis ini membuatku jatuh hati padanya. “Lagu biasa. Ya sudahlah-nya Bondan.” Lagu biasa.
Selalu lagu itu yang diinginkan Candy sebagai lagu pembuka. Sebenarnya tak ku tanya pun aku tahu Candy pasti akan request lagu itu. Tapi entahlah, aku merasa bertanya padanya sudah menjadi rutinitas tersendiri bagiku. Akan aneh rasanya jika aku tidak melakukannya. Walaupun aku tahu jawabannya akan tetap sama. Ku petik gitarku seperti biasa. Candy pun bernyanyi dengan bahagia. Suaranya menghanyutkanku. Ku perhatikan wajahnya dengan seksama. Aku tak pernah bosan memandanginya saat dia bernyanyi. Dia sangat ekspresif. Sulit sekali bagiku untuk menghafalkan ekspresi-ekspresi yang dikeluarkannya. Membuatku semakin tak bosan untuk menatapnya. Ah Candy! Jangan-jangan aku benar-benar jatuh hati padamu.
“Ken? Lagu penutup seperti biasa ya,” dia mengedipkan matanya padaku. Lagu terakhir yang dimintanya padaku selalu membuatku terdiam. Bagaimana tidak? Dia selalu meminta Pupus-nya Dewa 19. Apakah lagu terakhir ini menunjukkan perasaannya? Entahlah. Dia gadis yang selalu ceria. Jadi aku berpikir kemungkinan itu adalah perasaannya adalah nol. “Hmm. Ken?” aku hanya balas menatapnya. Ya, begitulah kami. Lebih sering komunikasi sepihak. Candy adalah gadis yang ceriwis. Sedangkan aku lebih memilih untuk menjadi pendengar yang baik baginya.
“Sekarang aku lagi nulis lagu sendiri. Entar kamu yang buat chord gitarnya ya?” Candy bercerita dengan penuh semangat. Ingin sekali aku menyentuh wajahnya yang menggemaskan. Tapi aku sadar. Aku harus menahan keinginanku ini. “Nggak mau ah! Pasti lagunya jelek,” ku ledek Candy yang sekarang melemparkan tatapan pura-pura merajuknya padaku. “Terserah! kalau Ken nggak mau aku tinggal paksa. Aku yakin Ken bakalan mau. Rugi lo kalau nggak mau. Mana tahu aku jadi penyanyi terkenal nantinya. Bangga dong pernah kenal denganku?” Sekarang Candy malah tertawa menggodaku. Baru sedetik yang lalu dia ngambek padaku. Sekarang dia justru tertawa. Candy! Candy! Aku takut kebersamaan kita ini segera berakhir.
“Entar kalau lagu yang aku tulis udah jadi, aku janji deh. Kamu nggak perlu main gitar lagi buat aku. Saat lagu ini selesai. Aku janji aku udah bisa main gitar. Jadi kamu nggak perlu repot-repot lagi bawa gitar karena aku yang paksa. Jadi Ken berdoa aja aku cepat menyelesaikan semuanya.” Ku tatap wajahnya lamat-lamat. Kebahagiaan yang biasa tercermin di wajahnya tak lagi terpancar. Ini bukan Candy yang ku kenal. Aku tak dapat menafsirkan ekspresinya yang satu ini. Candy, apakah kau menyembunyikan sesuatu dariku? Aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri.
“Gimana Can? Lagunya udah selesai?” Aku takut sekali Candy menyelesaikan lagunya dengan cepat. Takut semua kebahagiaan ini segera berakhir. “Belum. Susah juga ya nulis lagu sendiri Ken. Pinginnya sih cepat selesai. Tapi takut maknanya nggak nyampe.” Candy menghempaskan tubuhnya di sampingku yang sedang bersantai menatap langit luas. Ini salah satu kegiatan favorit kami. Berbaring di atas rerumputan hijau. Diam. Menatap langit biru. Sibuk dengan angan-angan masing-masing. “Memangnya lagu apa sih Can?” aku bertanya penuh selidik kepada Candy yang sekarang mulai memejamkan matanya. “Perasaanku..” hanya gumaman Candy yang dapat kudengar.
Gadis bandel itu sudah mulai tertidur terbuai oleh semilir angin. Bahkan di waktu tidur pun dia terlihat cantik. Candy, mungkin hanya dirimu yang mampu membuatku rela melakukan semua ini. Rela memainkan gitar untukmu. Rela menemanimu. Menghabiskan waktu bersamamu di padang rumput ini. Terkadang aku bertanya-tanya di dalam hati. Aku selalu betah mendengarkanmu bercerita dan kau tak pernah bosan bercerita padaku. Tapi tak pernahkah kau tergelitik untuk mengetahui apa yang ku rasakan, Candy? Ahh sudahlah!! Mungkin menyimpan dulu apa yang ku rasakan saat ini akan lebih baik. Karena aku takut. Aku takut jika aku menyatakannya padamu, kebahagiaan ini segera berakhir. Menyembunyikan akan jauh lebih baik. Setidaknya untukku sendiri.
Gadis yang bernama Candy itu tak henti-hentinya melemparkan gulungan kertas yang telah diremukkannya ke sudut ruangan. Tak terhitung lagi berapa kertas yang telah diremukkannya. Ya, gadis itu sedang stres berat sekarang. Dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Ken, sahabat baiknya. Tapi dia tak pernah menemukan caranya. Hanya ini satu-satunya cara yang terlintas di otaknya yang juga tak terlalu pintar.
Tapi tetap saja. Ini sulit baginya. Menciptakan lagu tak semudah yang dipikirkannya. Masa SMA-nya sebentar lagi akan berakhir. Dia tak tahu apakah dia akan dipertemukan lagi dengan Ken di universitas yang sama. Hanya ini kesempatan yang dimilikinya untuk mengungkapakan perasaannya. Melalui musik. Karena Candy tahu, Ken akan selalu memahami makna musik, serumit apa pun itu. Gadis berwajah riang itu telah berhenti melempar kertas. Sekarang dia justru tertidur dengan damai dengan pena yang masih berada di genggamannya.
“Ken!!”
Hampir 24 jam aku tak mendengar suaranya. Sekarang dia telah muncul lagi dengan senyuman yang tak henti-hentinya dilemparkannya padaku. Candy berlari menujuku. Aku hanya menatapnya. Bahagia akan kehadirannya. “Kamu nggak nanya aku bawa gitar atau nggak Can?” tiba-tiba saja aku ingin menggodanya. Napasnya masih tersengal-sengal. Letih setelah berlari mendaki bukit. “Ah nggak. Hari ini aku nggak mau nyanyi. Mau tiduran aja,” Candy segera berbaring.
Tatapannya kosong. Tiga puluh detik berlalu. Candy masih menatap langit dengan tatapan kosongnya itu. Aku masih menunggu. Menunggu Candy yang ceria mengajakku bersenda gurau seperti biasanya. Satu menit. Dia tak bergeming. Entah apa yang ada di benak Candy sekarang. Dua menit. Ku lihat matanya mulai terpejam. Candy pun tertidur dengan damai. Sudah dua kali aku melihat tatapan itu. Aku tak mengerti maknanya. Untuk pertama kalinya aku tak mampu menafsirkan ekspresi wajah Candy. Candy, apa yang sebenarnya terjadi?
Ujian Nasional telah usai. Gadis itu masih bingung. Bagaimana caranya mengungkapkan semua rasa sesak di dadanya. Semakin lama dia memendamnya, rasanya semakin menyesakkan. Lagu itu telah selesai ditulisnya. Tapi tiba-tiba saja dia surut. Dia tak sanggup meminta bantuan Ken untuk mencari chord gitarnya. Lagu yang ditulisnya teramat jelas untuk mewakili perasaannya. Ken akan mengetahuinya dengan mudah. Dia takut dampaknya akan buruk.
Sudah tiga bulan aku berbaring di bukit ini tanpa kehadiran Candy. Ya, dia sudah pergi. Sekolah di sekolah musik seperti impiannya. Sedangkan aku? Aku tetap di sini. Mendekam. Menghabiskan waktu dengan rutinitas kampus yang membosankan. Tentu saja aku merasa bosan. Aku kehilangan sosoknya. Sosok yang membuatku selalu semangat. Candy, aku akan tetap menunggumu di bukit ini.
“Ken, aku kanget banget deh ke bukit itu lagi. Pingin dengar dan lihat kamu main gitar lagi. Wish me meet as soon as possible. By the way, sekarang aku udah bisa main gitar. Tapi, sayang sekali lagu yang ku janjikan padamu tak selesai sebelum kita berpisah. Tunggu aku debut ya! Entar lagu yang aku tulis itu akan menjadi lagu terakhirku. Janji! Candy.” Pesan Candy tiga bulan yang lalu selalu ku baca ulang. Bahkan rasanya aku sudah hafal isinya di luar kepala. Apa yang ingin kau sampaikan Candy? Apakah aku akan menunggu lama untuk mengetahuinya? Entahlah. Hanya kau dan waktu yang dapat menjawabnya.
Setahun berselang. Candy sudah debut sekarang. Bahkan dia sudah sangat-sangat terkenal. Candy, apakah kau masih mengingatku? Aku masih di bukit ini. Setia menunggumu. Bukit ini sangat sepi tanpa suaramu. Biasanya sosokmu yang selalu membuat suasana heboh. Tapi apa sekarang? Semuanya sunyi! Senyap! Nada dering tanda adanya pesan masuk ponselku berbunyi. “Ken, nanti malam konser terakhirku. Satu tahun sudah cukup bagiku untuk membuktikan diri. Aku akan menepati janjiku padamu dulu. Aku telah menyelesaikan lagu terakhirku. Kamu datang kan? Candy.”
Ternyata dari Candy. Aku pikir kau telah melupakanku. Bahkan aku tidak tahu bahwa kau telah berganti nomor ponsel. Aku tersenyum sendiri. Hari ini aku akan bertemu dengannya lagi. Pesan Candy tak ku balas. Mungkin sedikit kejutan kecil akan membuatnya terkejut. Aku akan datang ke konser Candy. Pasti. Semua rasa sesak di dada ini akan segera hilang. Aku akan mengungkapkan semuanya. Ya. Tak ada lagi penantian panjang. Ini satu-satunya kesempatanku. Tak peduli Candy memiliki rasa yang sama atau tidak. Candy harus tahu semua ini.
“Candy! Candy! Candy!”
Teriakan para fans gadis yang bernama Candy itu memenuhi gedung konser. Candy pun segera muncul di atas panggung. Dia tersenyum seraya melambaikan tangan pada fans-fans setianya. Tanpa mengulur waktu, segera dia meraih stand-mic dan mulai menyapa semua orang. “Hai! Selamat malam semuanya!” Candy menyapa mereka dengan penuh semangat. “Candy!” teriakan itu semakin menggila. Tak bisa dibendung lagi. Mereka benar-benar bahagia dapat melihat konser idola mereka secara langsung.
“Well, this is my last song. Enjoy guys!” Gemuruh tepuk tangan memenuhi gedung konser. Semuanya bahagia karena Candy akan bernyanyi lagi. Tak ada yang tahu itu benar-benar konser terakhirnya. Tak ada lagi single terbaru. Tak ada lagi album. Apalagi konser. Ini benar-benar penutup segalanya. Setidaknya bagi gads itu. Lalu, melantunlah nyanyian yang indah dari bibir mungilnya. Semua orang hanyut dalam kedamaian, terbuai merdunya suara Candy.
Lucky I’m in love in my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we’re in love in everyway
Mungkin mereka bersorak ricuh mendengar suara Candy yang merdu. Tapi tidak denganku. Aku mematung. Memahami apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Oh Tuhan. Ternyata gadis itu memiliki perasaan yang sama denganku. Hanya aku saja yang tak menyadarinya selama ini. Ternyata ini jawaban dari penantian panjangku. Penantian yang menyesakkan ini telah berakhir. Aku akan menyelesaikan semuanya. Ku lihat dia berjalan perlahan menghampiriku. Wajahnya terlihat sangat cemas. Ahh.. sangat berbeda denganku. Aku sangat senang. Menyadari semua penantian ini berakhir bahagia. Candy melihatku. Dia tak tersenyum. Hanya tatapan cemas yang terlihat di wajahnya.
“I’m lucky I’m in love with you..”
Hanya itu kata yang terucap dari bibirku. Tapi itu saja sudah cukup. Candy langsung mengangkat wajahnya. Senyuman itu telah kembali. Candy telah kembali ke sisiku. Ingin sekali aku memeluknya detik ini juga. Semuanya. Semua ini. Tak ku sangka inilah yang direncanakan Tuhan. “Candy, aku selalu ingin memelukmu. Tapi aku takut. Aku takut kau…” Belum selesai aku menyatakan apa yang selama ini aku rasakan, Candy telah menghambur padaku. Memelukku erat. Membenamkan wajahnya di pundakku. Refleks ku peluk tubuhnya erat. Tak ingin lagi melepaskannya. Aku tak ingin semua ini segera berakhir.
“Apakah kau tahu Ken, aku sulit sekali menahan semua ini. Dan sekarang saat ku tahu semuanya…” Ku tarik tubuh Candy menghadap padaku, segera ku kecup bibirnya lembut. Ku tatap matanya. Kami berkomunikasi tanpa berbicara. Aku masih mengecupnya, tak ingin melepasnya. Candy pun semakin mencengkeram bahuku erat. Aku pun tenggelam dalam kecupannya yang hangat. Ku kecup sekali lagi bibirnya yang mungil dengan penuh kelembutan. Dia tak menolakku. Sekarang kami tahu. Kami memang telah ditakdirkan bersama. Candy telah ditakdirkan untukku, begitu juga diriku.
“Candy apakah kau bersedia menemaniku sepanjang hayatmu? Aku akan melamarmu. Sesegera mungkin aku akan menemui orangtuamu.” Aku telah melepaskan Candy dari pelukanku. Tapi hanya untuk sesaat. Sekarang kami memilih untuk duduk. Dan Candy dengan nyamannya merebahkan kepalanya ke pundakku. Tentu saja aku tak dapat menolak semua ini. Candy, tak akan mungkin aku menolaknya. “Tentu saja. Aku akan menunggumu. Akan selalu menunggumu..” Candy justru terlelap di bahuku.
Keinginan untuk menyentuhnya semakin besar. Tetapi aku tahu, kecupan di bibir. Tak boleh lebih dari itu. Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Aku akan menikahimu Candy. Kau akan selalu menjadi sahabatku. Sahabat yang menyadarkanku makna cinta yang sebenarnya. Cinta penuh kesabaran karena harus saling memendam satu sama lain. Sebentar lagi saja. Tunggu aku. Aku berjanji kali ini tak akan lama. Kita akan memiliki satu sama lain seutuhnya. Tak akan ada lagi yang memisahkanmu dariku Candy. Tak akan ada. I’m lucky I’m in love with you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar